Pernikahan termasuk syariat yang mendapat perhatian penting dalam Islam. Hikmah disyariatkannya pernikahan adalah menciptakan keluarga yang sakinah serta dalam rangka memperoleh keturunan. Menjaga keturunan (hifz al-nasl) adalah salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam.
Dalam Islam ditegaskan bahwa kemampuan menjaga keturunan tersebut juga dipengaruhi usia calon mempelai yang telah sempurna akalnya dan siap melakukan proses reproduksi. Dalam perkembangannya di masyarakat, pernikahan justru menjadi perbincangan yang menyita perhatian banyak pihak dengan isu pernikahan dini.
Pernikahan anak usia dini banyak terjadi utamannya di masyarakat pedesaan. Pernikahan anak usia dini sebenarnya tidak diperkenankan menurut UU Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebut, "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun." Jadi menurut negara, anak dibawah umur dilarang dinikahkan.
Lantas, bagaimana syariat Islam menjelaskan soal batasan umur pernikahan? Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub). Islam tidak menentukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima pembebanan hukum Islam.
Allah Ta'ala berfirman :
وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan yang perempuan." (QS an-Nur : 32).
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud layak adalah kemampuan biologis. Artinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan. Ilmu fikih mengenalkannya sebagai akil baligh.
MUI mempertimbangkan semua pandangan ulama soal hukum pernikahan dini. Ada beberapa perbedaan pendapat soal kebolehan pernikahan ini. MUI memaparkan bahwa menurut jumhur ulama fikih, sebenarnya tak mempermasalahkan soal pernikahan usia dini. Sementara itu Ibn Hazm memilih hukum nikah usia dini pada lelaki dan perempuan. Pernikahan usia dini pada perempuan yang masih kecil oleh orang tua atau walinya diperbolehkan. Sementara pernikahan dini untuk anak lelaki tidak diperbolehkan.
Beberapa ulama menerangkan tentang usia berapakah yang terkategori pemuda. Pemuda adalah penyebutan bagi orang hingga usianya sempurna mencapai 30 tahun. Ini menurut Asy Syafi’iyah. Al Qurthubi dalam Al Mufhim, ia berkata pemuda terjadi dari usia 16 tahun hingga 32tahun, kemudian setelah itu disebut tua.
Dalam kaitan itu, jumhur ulama berpendapat pernikahan dini, asal sudah akil baligh, tidak dilarang bahkan bisa menjadi solusi untuk menjauhkan anak-anak muda dari keburukan zina dan menjaga kehormatan mereka. Upaya melarang pernikahan dini harus didasarkan pada pendapat syar'i. Jika tidak, maka bisa dianggap salah satu bentuk kedurhakaan. Karena apa yang telah dihalalkan oleh Allah Subhanaallahu wa ta’ala tidak boleh diharamkan oleh manusia.
Firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS.Al Maidah : 87).
Dengan demikian pernikahan dini dalam usia yang dibolehkan syariat (akil baligh) diperolehkan (halal), selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Yaitu kesiapan ilmu, kesiapan materi (kemampuan memberi nafkah), serta kesiapan fisik. Bila persiapan sebelum menikah telah dilakukan, maka usia saat menikah bukan menjadi persoalan. Dan, kenyataannya banyak pasangan nikah dini yang sukses dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Sebagai panduan, MUI memutuskan pernikahan dini pada dasarnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun hukumnya akan menjadi haram jika pernikahan tersebut justru menimbulkan madharat (keburukan). Kemudian, kedewasaan usia adalah salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan. MUI memutuskan demi kemashlahatan, ketentuan pernikahan dikembalikan kepada ketentuan standardisasi usia merujuk UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wallahu A'lam
Post A Comment: