Palestina, Infosekayu.com-. Masalah listrik padam di daerah
di Indonesia ternyata belum seberapa parah. Masalah listrik sudah tak
terselesaikan lagi. Rakyat Palestina, terlebih di Jalur Gaza, harus merasakan
gelapnya setiap malam. Saat bersahur pada Bulan Suci Ramadhan 1439 H/2018
sekarang ini mereka hanya bisa meraba-raba: sama sekali tak ada penerangan.
"Kaum penjajah Israel menghidupkan listrik saat rakyat
Palestina tidur, dan memadamkan listrik saat mereka bangun. Setiap hari mereka
rasakan," kata Ulama Palestina Syaikh Yahya Al Nadjar kepada Republika
saat muhibah Ramadhan ke Lampung seusai Shalat Zuhur di Masjid Al Mujahidin
Rawa Laut, Bandar Lampung, Kamis(24/5).
Lulusan
Universitas Islam Gaza itu mengatakan, rakyat Palestina masih harus bersabar
atas kelakuan penjajah. Jalur Gaza terus mengalami blokade dalam waktu yang
lama. Di perairan lautnya sudah dijaga kapal perang Israel, sedangkan di darat
sudah dikepung tank-tank canggih, dan di udara pesawat-pesawat tempur hilir
mudik.
"Jalur
Gaza ada dua pintu (akses ke luar), pertama pintu menuju Israel yang tidak
pernah dibuka sama sekali dan dijaga ketat tentara Israel. Sedangkan pintu
kedua menuju Mesir, yang jarang dibuka. Pintu Mesir dibuka hanya dua atau tiga
kali dalam dua bulan," tutur ulama Gaza berusia 22 tahun tersebut.
Setiap hari
rakyat Palestina mendapat tekanan, tidak hanya kaum lelaki dan pemuda, tetapi
juga sudah menyasar kepada kaum wanita dan anak-anak. Muslimah dan anak-anak
tanpa senjata tetap saja ditindas seperti penjahat, padahal apadaya mereka
melawan lima sampai 10 orang tentara penjajah bersenjata lengkap.
Beberapa waktu
lalu, rakyat Palestina menggelar aksi damai 'Pulang ke Kampung Halaman'.
Gerakan damai tersebut ternyata rakyat Palestina di Gaza disambut gempuran dari
tentara Israel. "Sebanyak 112 orang meninggal, dan bahkan ada anak bayi
usia delapan bulan juga menjadi korban serangan gas beracun yang ditembakkan
penjajah," ungkap Syaikh Yahya yang menyelesaikan studinya di Universitas
Islam Gaza dalam waktu tiga tahun.
Padahal, gerakan
atau aksi damai Rakyat Palestina di Gaza hanya menuntut hak mereka sebagai
warga negara berdasarkan keputusan PBB Nomor 194, yang mengharuskan rakyat
Palestina pulang kampung ke tanah kelahiran mereka. Menurut Syaikh Yahya,
keputusan PBB tersebut belum pernah dijalani. Namun yang diterima warga Gaza,
rumah-rumah mereka digempur dan hancur tanpa tersisa lagi.
Rakyat
Palestina di Gaza harus menderita lama. Selama 11 tahun dalam penguasaan
penjajah, tercatat tingkat kemiskinan mencapai 80 persen, dan yang berada di
bawah garis kemiskinan sudah mencapai 65 persen. Mereka sekarang hidup tanpa
rumah dan tanpa tempat bernaung. Semua sudah digempur penjajah.
Sedangkan
kilang-kilang bahan bakar untuk menggerakan turbin listrik 80 persen sudah
ditutup. Mereka krisis listrik, pemadaman lebih sering. "Listrik hanya
menyala ketika mereka tidur, dan mereka bangun listrik sudah mati,"
tuturnya.
Kondisi
terparah lagi di Palestina terlebih di Jalur Gaza , warganya tidak dapat lagi
air bersih untuk minum. Pasalnya,95 persen air yang masih tersedia sudah
tercemar zat beracun. "Karena tidak ada air terpaksa mereka
mengkonsumsinya juga. Jadilah ada anak-anak dan banyi terkena penyakit,"
ujar dosen di Universitas Islam Gaza.
Rakyat
Palestina sekarang masih mempertahankan tanah sejengkal lagi. Sejak tahun 1947
rakyat Palestina menguasai Tanah Airnya. Sedangkan pada periode 1949 1967,
separuh wilayah Palestina sudah dikuasai penjajah Israel. Dan tahun ini 2018,
tanah Palestina tinggal secuil yang masih bisa dipertahankan warganya. Yakni di
Jalur Gaza, dan Masjid Al-Aqsa.
Di Komplek
Masjid Al-Aqsa lebih parah lagi belakangan ini. Syaikh Yahya menuturkan,
tentara Israel sudah berani masuk di dalam masjid bersama kaum perempuan
Yahudi-nya. Mereka memblok tempat shalat kaum muslimin. Semua pintu masuk di
jaga tentara, sehingga menyulitkan umat untuk masuk masjid.
"Namun
karena syariat Allah, umat Muslim Palestina tetap menjalan shalat berjamaah
meski di jalan rayat yang mendekati Masjid Al-Aqsa. Meskipun dalam pengawalan
ketat tentara Israel," kata Syaik Yahya yang sedang menjalani studi S-2 di
Universitas Islam Kebangsaan Malaysia.
Di Bulan
Ramadhan yang penuh berkah ini, Syaikh Yahya menyatakan rakyat Palestina dan
sekitarnya tidak banyak meminta kepada umat Muslim sedunia. Di saat kaum
muslimin di berbagai negara termasuk di Indonesia yang menjalankan ibadah
puasa, baik berbuka dan bersahur dengan lampu listrik dan penerangan yang cukup
terang benderang, mereka hanya meminta dan memohon doanya.
"Bagi kita
selaku Muslim mereka memohon mendoakan saudara Muslim di sana dalam shalat dan
sujud kita. Semoga mereka diberikan kesabaran dan ketabahan menghadapi hal itu.
Terus melakukan share (berbagi) berita Palestina ke berbagai media sosial agar
masyarakat dunia tahu bahwa rakyat Palestina sedang mengalami sebuah
kesedihan," ajaknya.
Bantuan pangan
dan sandang dari negara Indonesia yang disalurkan lembaga-lembaga kemanusiaan
seperti Aksi Cepat Tanggap atau ACT menjadi dorongan semangat rakyat Palestina
untuk tetap istiqomah melawan penjajah. "Bantuan pangan dari Indonesia di
Palestina tetap terdepan dari negara lain. Termasuk aksi damai membela
Palestina yang dilakukan di Monas beberapa waktu lalu," jelasnya. (Edp)
Post A Comment: