infosekayu.com- Nikotin pada rokok memang
bisa menyebabkan adiksi dan kecanduan. Namun pakar mengatakan penyakit dan
kematian akibat rokok bukan disebabkan oleh nikotin.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran
Bandung, Prof Dr drg Achmad Syawqie, mengatakan pada rokok, tar lebih berbahaya
daripada nikotin. Sayangnya, pemahaman masyarakat soal hal dinilai masih
kurang, dan lebih takut kepada nikotin daripada tar.
"Selama ini, orang lebih banyak mendiskusikan mengenai
bahaya nikotin yang menyebabkan kecanduan. Padahal, tar jauh lebih berbahaya
karena mengandung zat-zat karsinogenik yang dihasilkan dari pembakaran
rokok," ungkap Prof Syawqie.
"Kami khawatir pengetahuan yang rendah ini berakibat
pada kesalahpahaman masyarakat dalam menentukan pilihannya, utamanya yang
berkaitan dengan dampak dari produk tembakau. Apakah mereka akan tetap
mengonsumsi produk tembakau yang dibakar, atau mempertimbangkan untuk beralih
pada produk tembakau alternatif yang tidak menghasilkan tar," ujarnya.
Tar merupakan sebutan umum pada zat-zat yang merupakan residu
dari pembakaran rokok. Tar merupakan penyebab perokok kerap mengalami masalah
jantung dan pernapasan, dan juga zat yang dapat menyebabkan kanker.
Atas dasar ini, Prof Syawqie yang juga merupakan Ketua
Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI), Tar Free Foundation, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Perhimpunan
Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI), serta
Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), membentuk koalisi organisasi yang memberi
perhatian khusus terhadap bahaya tar. Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR)
bertujuan untuk mengedukasi masyarakat.
Koalisi ini berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi atas
permasalahan dampak rokok bagi kesehatan, dengan mengedepankan informasi
berbasis penelitian ilmiah dan teknologi demi mengatasi dampak buruk TAR
melalui produk tembakau alternatif.
Tembakau
Alternatif Bebas Tar?
APVI, salah satu anggota KABAR yang mewakili suara konsumen,
juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama mengenai minimnya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat, khususnya bagi pemerintah, perokok, dan penggiat
kesehatan publik mengenai penelitian-penelitian yang mengarah pada produk
tembakau alternatif dengan bahaya yang lebih rendah.
"Terkait ini, kami juga mempertanyakan pernyataan
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kesehatan yang bermaksud melarang
peredaran dan konsumsi produk tembakau alternatif, diantaranya vape dan rokok
elektrik. Kebijakan pemerintah yang condong terburu-buru hendak melarang tanpa
melakukan kajian dan penelitian secara menyeluruh, menunjukkan minimnya
pemahaman dan informasi terkait perkembangan teknologi dan penelitian ilmiah
mengenai produk tembakau alternatif," ujar Aryo Andrianto, ketua APVI.
Untuk itu, KABAR mendorong pemerintah untuk segera melakukan
penelitian ilmiah, berdiskusi dengan para peneliti yang mendalami produk
tembakau alternatif bebas tar di Indonesia, serta mendalami berbagai penelitian
yang dilakukan oleh pakar atau organisasi independen dari berbagai negara. Hal
ini penting dilakukan agar pemerintah bisa mendapatkan informasi yang akurat
demi menentukan kebijakan yang tepat.
"Kami setuju bahwa produk tembakau alternatif harus
segera diregulasi, di antaranya agar tidak dikonsumsi oleh anak-anak. Namun
demikian, wacana pelarangan bukanlah keputusan bijaksana, mengingat banyaknya
penelitian dan pengembangan produk yang menunjukkan adanya pengurangan bahaya
produk tembakau jika tidak dibakar. Jika produk ini dilarang, maka Pemerintah
menutup akses konsumen untuk memilih produk dengan tingkat resiko yang lebih
rendah. Untuk itu, kami siap berdialog dengan Pemerintah dan memberikan masukan
mengenai hal ini," ujar Aryo.
Mengingat pentingnya akses informasi berbasis penelitian
ilmiah dan pengembangan teknologi, hari ini KABAR juga meluncurkan situs
www.no-tar.org, sebuah platform digital yang akan digunakan untuk
menginventaris kajian-kajian ilmiah, data, dan informasi produk tembakau
alternatif. Dengan demikian, diharapkan muncul kesadaran untuk mulai
mempertimbangkan penggunaan produk tembakau alternatif dengan risiko lebih
rendah.
"Saat ini penggunaan produk tembakau alternatif masih
minoritas. Dengan penyampaian informasi seperti ini, diharapkan akan membuka
wawasan perokok tentang pilihannya dan dalam jangka panjang akan berdampak
positif bagi kesehatan masyarakat Indonesia," tutup Aryo. (Edp)
Post A Comment: