Sekayu, Infosekayu.com - Potret dua situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yakni Candi Bingin
Jungut dan Candi Teluk Kijing, di daerah aliran Sungai Musi menjadi
bukti nyata betapa bangsa Indonesia agak kurang menghargai peninggalan
masa lalu. Padahal, dari sejarah-sejarah tersebut kita dapat belajar
tentang banyak hal berguna untuk masa kini dan masa mendatang. (27/08/2017)
Situs Candi Bingin Jungut terletak di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Kab. Musi Rawas sedangkan Candi Teluk Kijing terletak di Desa Teluk Kijing, Lais, Musi Banyuasin. Keduanya berada di dekat aliran Sungai Musi.
Tim ekspedisi Jelajah Musi 2010, Rabu-Kamis (10-11/3), menyempatkan diri melihat dua situs candi tersebut. Saat hendak menuju ke Situs Bingin Jungut, tim harus melalui jalan setapak dengan membelah semak belukar sepanjang 500 meter dari tebing Sungai Musi.
Tim sulit menemukan areal situs karena di sekitar lokasi Candi Bingin Jungut tertutup belukar dan akar pohon. Di lokasi candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu hanya tersisa satu batu dan puing-puing batu bata yang berserakan.
Satu batu yang masih berada di situs itu berwarna abu-abu kehitaman dengan ukuran panjang lebih kurang 80 sentimeter, lebar 40 sentimeter, dan tinggi 40 sentimeter. Di sekeliling situs tidak dibangun pagar pembatas ataupun penanda.
Menurut Umjoni (42), warga Desa Bingin Jungut yang mendampingi tim Jelajah Musi 2010 ke lokasi itu, sekitar lima tahun lalu ada delapan arkeolog asal Belanda yang melakukan penelitian dan penggalian. ”Tetapi, saya tak tahu apa yang dilakukan karena tidak melibatkan warga. Sebelumnya juga pernah dilakukan penggalian oleh tim dari Palembang,” katanya.
Teluk Kijing Kondisi di situs Teluk Kijing lebih kurang sama dengan situs Candi Bingin Jungut. Situs tersebut juga tertutup semak belukar dan pepohonan. Namun, situs ini lebih mudah ditemukan karena ada penanda menyerupai makam yang sudah diberi fondasi semen.
Untuk mencapai situs, tim harus berjalan kaki sekitar 200 meter dari muara Sungai Batanghari Leko. Situs ini terletak di kawasan perkebunan karet rakyat. Di areal makam, tim menjumpai sisa-sisa sesaji, berupa makanan dan bunga-bunga.
Menurut Faisal (26), salah seorang warga, lokasi ini sering dikunjungi warga setempat maupun pendatang. ”Makam” ini menjadi semacam situs yang dikeramatkan warga. Biasanya, mereka datang dengan maksud tertentu, misalnya saat kesusahan atau memohon kesembuhan atas penyakit.
Sudah digali Menurut Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti, pihaknya pernah melakukan penggalian di dua situs candi itu. Penggalian di situs Candi Bingin Jungut dilakukan tahun 1990, sedangkan di situs Candi Teluk Kijing tahun 2007.
Dari kedua lokasi, ditemukan dua patung arca Buddha dengan pahatan yang belum selesai. Satu di lokasi situs Bingin dan lainnya di Teluk Kijing. Patung yang ditemukan di situs Bingin sudah disimpan di Museum Balaputradewa, Palembang, beserta sejumlah pecahan batu bata.
”Arca temuan dari situs Teluk Kijing dikoleksi di kantor Balai Arkeologi Palembang,” katanya.
Balai Arkeologi Palembang juga menemukan struktur fondasi batu bata, yang diperkirakan merupakan bangunan candi. Kedua situs candi ini diperkirakan dibangun pada abad IX-X Masehi, pada era Kerajaan Sriwijaya. ”Biasa, candi digunakan sebagai tempat pemujaan umat Buddha,” ucap Nurhadi.
Sudah rusak Mengapa situs candi tidak diberi penanda? Nurhadi menjawab, lembaganya hanya memiliki kewenangan untuk penelitian. Pihak yang bertugas memelihara dan melestarikan situs adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi.
Pihak Balai Arkeologi Palembang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi mengakui sulit untuk merekonstruksi secara utuh kedua peninggalan sejarah itu. Alasannya, kedua bangunan sudah rusak parah saat ditemukan. Yang dijumpai hanya struktur fondasi yang terbuat dari batu bata. Informasi mengenai kedua bangunan itu juga sangat minim.
”Karena sulit untuk merekonstruksi, upaya yang bisa kami lakukan hanya sebatas mendokumentasi dan melakukan pencatatan lokasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pola-pola persebaran situs Kerajaan Sriwijaya,” katanya.
Pada era Kerajaan Sriwijaya, aliran Sungai Musi menjadi pusat aktivitas, mulai dari transportasi, perekonomian, hingga keagamaan. Untuk mendukung ritual keagamaan, penguasa Sriwijaya membangun candi pemujaan di beberapa titik di alur Sungai Musi.
Lokasi candi biasanya berada di muara sungai atau di tebing yang mudah dijangkau. Daerah muara sungai merupakan pusat aktivitas pada era tersebut. Setelah pola hidup masyarakat berubah dari sungai ke darat, daerah-daerah seperti ini mulai ditinggalkan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan situs-situs candi telantar dan tidak diperhatikan lagi. (mel)
http://telukkijing.blogspot.co.id/2013/04/arkeolog-candi-teluk-kijing-dan-candi.html
http://www.youtube.com/watch?v=6k6jHJbJgOU
http://arkeologi.web.id/articles/wacana-arkeologi/1151-bangun-kembali-kesadaran-sejarah
Sumber: http://cetak.kompas.com/
Situs Candi Bingin Jungut terletak di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Kab. Musi Rawas sedangkan Candi Teluk Kijing terletak di Desa Teluk Kijing, Lais, Musi Banyuasin. Keduanya berada di dekat aliran Sungai Musi.
Tim ekspedisi Jelajah Musi 2010, Rabu-Kamis (10-11/3), menyempatkan diri melihat dua situs candi tersebut. Saat hendak menuju ke Situs Bingin Jungut, tim harus melalui jalan setapak dengan membelah semak belukar sepanjang 500 meter dari tebing Sungai Musi.
Tim sulit menemukan areal situs karena di sekitar lokasi Candi Bingin Jungut tertutup belukar dan akar pohon. Di lokasi candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu hanya tersisa satu batu dan puing-puing batu bata yang berserakan.
Satu batu yang masih berada di situs itu berwarna abu-abu kehitaman dengan ukuran panjang lebih kurang 80 sentimeter, lebar 40 sentimeter, dan tinggi 40 sentimeter. Di sekeliling situs tidak dibangun pagar pembatas ataupun penanda.
Menurut Umjoni (42), warga Desa Bingin Jungut yang mendampingi tim Jelajah Musi 2010 ke lokasi itu, sekitar lima tahun lalu ada delapan arkeolog asal Belanda yang melakukan penelitian dan penggalian. ”Tetapi, saya tak tahu apa yang dilakukan karena tidak melibatkan warga. Sebelumnya juga pernah dilakukan penggalian oleh tim dari Palembang,” katanya.
Teluk Kijing Kondisi di situs Teluk Kijing lebih kurang sama dengan situs Candi Bingin Jungut. Situs tersebut juga tertutup semak belukar dan pepohonan. Namun, situs ini lebih mudah ditemukan karena ada penanda menyerupai makam yang sudah diberi fondasi semen.
Untuk mencapai situs, tim harus berjalan kaki sekitar 200 meter dari muara Sungai Batanghari Leko. Situs ini terletak di kawasan perkebunan karet rakyat. Di areal makam, tim menjumpai sisa-sisa sesaji, berupa makanan dan bunga-bunga.
Menurut Faisal (26), salah seorang warga, lokasi ini sering dikunjungi warga setempat maupun pendatang. ”Makam” ini menjadi semacam situs yang dikeramatkan warga. Biasanya, mereka datang dengan maksud tertentu, misalnya saat kesusahan atau memohon kesembuhan atas penyakit.
Sudah digali Menurut Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti, pihaknya pernah melakukan penggalian di dua situs candi itu. Penggalian di situs Candi Bingin Jungut dilakukan tahun 1990, sedangkan di situs Candi Teluk Kijing tahun 2007.
Dari kedua lokasi, ditemukan dua patung arca Buddha dengan pahatan yang belum selesai. Satu di lokasi situs Bingin dan lainnya di Teluk Kijing. Patung yang ditemukan di situs Bingin sudah disimpan di Museum Balaputradewa, Palembang, beserta sejumlah pecahan batu bata.
”Arca temuan dari situs Teluk Kijing dikoleksi di kantor Balai Arkeologi Palembang,” katanya.
Balai Arkeologi Palembang juga menemukan struktur fondasi batu bata, yang diperkirakan merupakan bangunan candi. Kedua situs candi ini diperkirakan dibangun pada abad IX-X Masehi, pada era Kerajaan Sriwijaya. ”Biasa, candi digunakan sebagai tempat pemujaan umat Buddha,” ucap Nurhadi.
Sudah rusak Mengapa situs candi tidak diberi penanda? Nurhadi menjawab, lembaganya hanya memiliki kewenangan untuk penelitian. Pihak yang bertugas memelihara dan melestarikan situs adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi.
Pihak Balai Arkeologi Palembang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi mengakui sulit untuk merekonstruksi secara utuh kedua peninggalan sejarah itu. Alasannya, kedua bangunan sudah rusak parah saat ditemukan. Yang dijumpai hanya struktur fondasi yang terbuat dari batu bata. Informasi mengenai kedua bangunan itu juga sangat minim.
”Karena sulit untuk merekonstruksi, upaya yang bisa kami lakukan hanya sebatas mendokumentasi dan melakukan pencatatan lokasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pola-pola persebaran situs Kerajaan Sriwijaya,” katanya.
Pada era Kerajaan Sriwijaya, aliran Sungai Musi menjadi pusat aktivitas, mulai dari transportasi, perekonomian, hingga keagamaan. Untuk mendukung ritual keagamaan, penguasa Sriwijaya membangun candi pemujaan di beberapa titik di alur Sungai Musi.
Lokasi candi biasanya berada di muara sungai atau di tebing yang mudah dijangkau. Daerah muara sungai merupakan pusat aktivitas pada era tersebut. Setelah pola hidup masyarakat berubah dari sungai ke darat, daerah-daerah seperti ini mulai ditinggalkan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan situs-situs candi telantar dan tidak diperhatikan lagi. (mel)
http://telukkijing.blogspot.co.id/2013/04/arkeolog-candi-teluk-kijing-dan-candi.html
http://www.youtube.com/watch?v=6k6jHJbJgOU
http://arkeologi.web.id/articles/wacana-arkeologi/1151-bangun-kembali-kesadaran-sejarah
Sumber: http://cetak.kompas.com/
Post A Comment: