Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) |
Jakarta, Infosekayu.com - Mengutip kabar dari Media Indonesia jika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai sistem lima hari delapan jam belajar di sekolah hanya menjawab kebutuhan kelas sosial masyarakat urban.
"Pemerintah perlu memberikan kebebasan sekolah yang memilih model tersebut untuk memenuhi kelompok masyarakat tertentu. Namun jangan memaksakan model tersebut untuk semua satuan pendidikan di Indonesia," kata Wakil Ketua KPAI Susanto melalui pesan tertulis di Jakarta, Senin (12/6).
Susanto menilai bila rencana kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah diterapkan pada semua satuan pendidikan di Indonesia sebagaimana digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, akan terjadi degradasi sistem pendidikan nasional.
Pasalnya, sistem pendidikan nasional saat ini sudah cukup demokratis dan memberikan kemandirian satuan-satuan pendidikan untuk memilih sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah.
Demokratisasi pendidikan itu tertuang pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah".
Karena itu kebijakan baru tersebut berpeluang bertentangan dengan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," terang Susanto.
KPAI pun meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Susanto, pendidikan harus memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah dan peran keluarga dalam pengasuhan atau pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta keterlibatan masyarakat.
"Anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kekurangan jam belajar di sekolah. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dan memastikan keterlibatan lingkungan sosial," katanya. (ZP)
"Pemerintah perlu memberikan kebebasan sekolah yang memilih model tersebut untuk memenuhi kelompok masyarakat tertentu. Namun jangan memaksakan model tersebut untuk semua satuan pendidikan di Indonesia," kata Wakil Ketua KPAI Susanto melalui pesan tertulis di Jakarta, Senin (12/6).
Susanto menilai bila rencana kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah diterapkan pada semua satuan pendidikan di Indonesia sebagaimana digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, akan terjadi degradasi sistem pendidikan nasional.
Pasalnya, sistem pendidikan nasional saat ini sudah cukup demokratis dan memberikan kemandirian satuan-satuan pendidikan untuk memilih sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah.
Demokratisasi pendidikan itu tertuang pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah".
Karena itu kebijakan baru tersebut berpeluang bertentangan dengan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," terang Susanto.
KPAI pun meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Susanto, pendidikan harus memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah dan peran keluarga dalam pengasuhan atau pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta keterlibatan masyarakat.
"Anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kekurangan jam belajar di sekolah. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dan memastikan keterlibatan lingkungan sosial," katanya. (ZP)
Post A Comment: