Semarang, Infosekayu.com - Penyidik Direktorat Reserse ­Kriminal Umum Polda Jawa ­Tengah menetapkan 14 tersangka kasus penganiayaan hingga tewas terhadap taruna tingkat II ­Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, Brigadir Dua Mohammad Adam.


Kapolda Jawa Tengah Irjen Condro Kirono di Semarang mengatakan ke-14 tersangka tersebut merupakan taruna tingkat III yang juga senior dari korban. “Ada 14 tersangka, peran mereka bermacam-macam,” katanya, tadi malam.
 
Menurut dia, dari ke-14 orang tersebut terdapat satu pelaku ­utama berinisial CAS. Ia menjelaskan CAS merupakan pelaku yang memukul korban hingga terjatuh pingsan.
Ke-13 tersangka lainnya memiliki peran bermacam-macam, seperti memberi arahan serta menjaga situasi saat kejadian penganiayaan itu terjadi. “Ada yang bertugas berjaga agar jangan sampai diketahui pembinanya,” jelasnya.
 
Para tersangka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian berjanji pihaknya akan mengusut tuntas kasus kematian taruna tersebut. Penyidik juga mengamankan 18 barang bukti dari lokasi kejadian di gudang gedung Flat A. Penetapan tersangka ini dilakukan setelah olah tempat kejadian perkara dan pemeriksaan 35 saksi.

Mohammad Adam dilaporkan tewas pada Kamis (18/5) di Kompleks Akpol Semarang. Taruna tingkat II tersebut tewas diduga setelah dianiaya seniornya ketika apel pembinaan oleh seniornya, di luar kegiatan resmi sekolah.

Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) Irjen Anas Yusuf meminta orangtua yang anaknya sedang menempuh di lembaga pendidikan itu tidak cemas menyusul insiden tewasnya taruna tingkat II Mohammad Adam. “Saya yakin orangtua khawatir, tetapi tidak perlu cemas,” katanya.

Ia menegaskan akan meningkatkan pengawasan agar peristiwa tersebut tidak terulang. Anas juga menyampaikan permintaan maaf kepada orangtua Brigadir Dua Mahommad Adam.

Terpisah, psikolog Rumah Sakit (RS) St Elisabeth Semarang Probowatie Tjondronegoro menegaskan mata rantai kekerasan yang berpotensi terjadi di sekolah berasrama harus diputus.

“Kekerasan cenderung berpotensi terjadi di sekolah berasrama. Di mana pun sekolahnya. Sebab, ada unsur senioritas-junioritas, ada semangat jiwa korsa, dan sebagainya,” katanya di Semarang, Jawa Tengah, kemarin.

Menurut Probowatie, nuansa senioritas-junioritas yang kental di sekolah berasrama harus diawasi. Pada banyak kasus, junior menjadi korban penganiayaan oleh kakak kelas atau seniornya.

“Pasien saya banyak yang seperti ini. Namun, korban ini tidak bakal mengaku.” ungkapnya. (ZP/Ant)
Share To:

redaksi

Post A Comment: